Ketahuilah, tidak ada sehelai daun pun di hutan ini yang benar-benar baru. Sama seperti tidak ada sebaris kata yang belum pernah disusun. Semesta ini seperti pustakawan yang sabar, mengatur ulang koleksinya—buku-buku yang serupa, hanya judulnya yang diacak. Tetapi, apa yang diberikannya kepada kita adalah kacamata baru, untuk melihat warna yang tak pernah kita pahami sebelumnya.
Goenawan Mohamad akan berbisik lewat baris ini: realita ialah kanvas yang kelabu, dan kita adalah seniman yang dalam keluhuran hatinya selalu memilih untuk tidak mengulang kuas di sapuan yang sama. Kita merenungkan hal-hal yang usang, memberikannya bentuk, memberikannya suara, sampai ia tampak seperti kenangan yang baru saja kita ciptakan.
Apakah kalian tahu mengapa pohon yang sama bisa terlihat begitu mengharu biru setiap kali daunnya rontok di musim gugur? Karena kita melihatnya dengan mata yang pernah menangis, yang pernah bersaksi atas berbagai drama. Sesuatu yang tampaknya baru adalah suara kita sendiri yang kembali bergema ke telinga kita lewat lorong yang belum kita lewati.
Dunia adalah mosaik yang terus-menerus berubah, dan mata kita adalah pemecah kode yang paling ulung. Kita menggali makna dalam debu, kita menemukan cerita dalam retakan dinding yang terlupakan.
Langit sore mungkin telah kita lihat ribuan kali, namun rasa syukur yang kita rasakan saat itu adalah sesuatu yang sama sekali baru—tiada yang sama dengan senja kemarin, atau esok yang akan datang. Apa yang tampak baru adalah bagaimana kita membiarkan rasa syukur itu bercumbu dengan cahaya yang menua.