Terkadang langit mempertemukan bintang-bintang yang tak pernah bermaksud bersanding selamanya. Mereka berpapasan dalam orbit yang tak terduga, saling memancarkan cahaya sebentar, lalu melanjutkan perjalanan masing-masing ke ujung galaksi yang berbeda. Tak ada drama, tak ada janji. Hanya pertukaran cahaya yang diam-diam mengubah komposisi debu kosmik di sekitarnya.
Aku pernah bertemu seseorang yang seperti itu. Dia datang tanpa suara, seperti bulan purnama yang tiba-tiba muncul di antara awan. Bukan untuk menerangi seluruh malam, tapi cukup untuk menunjukkan jalan saat aku tersesat di kegelapan. Kami berbicara tentang hal-hal remeh: tentang bagaimana kopi dingin lebih enak diminum saat hujan, atau mengapa burung-burung di pagi hari selalu berkicau lebih keras di hari Senin. Percakapan yang tak penting, tapi justru itu yang membuatnya terasa penting.
Lalu, suatu hari, dia berhenti muncul. Aku tak mencari alasannya. Seperti memahami bahwa matahari terbenam bukan karena marah, tapi karena waktunya memang telah tiba. Yang tersisa hanyalah kebiasaan-kebiasaan kecil: cara mengaduk gula dalam teh yang kini aku tiru, atau sudut meja di perpustakaan yang masih terasa hangat meski tak lagi didudukinya.
Pelajaran dari Air yang Mengalir
Ada sungai di kampung halaman yang airnya tak pernah sama. Setiap tetes yang lewat membawa cerita berbeda: daun kering yang terseret, ikan yang melompat, atau bayangan awan yang tercermin sebentar. Kepergiannya tak membuat sungai kehilangan makna—justru memberi ruang bagi cerita baru.
Begitulah pertemuan-pertemuan singkat dalam hidup. Mereka mengajarkan kita untuk tidak menggenggam air, tapi belajar merasakan alirannya. Ada yang meninggalkan bekas seperti goresan di batu kali: halus, tapi tak mudah hilang. Ada pula yang seperti gelembung udara—hilang dalam sekejap, tapi sempat membuat kita tersenyum.